Karena tugas
Bahasa Indonesia 18 November 2013
Tidak ada yang tahu pasti alasan sebenarnya
mengapa ia melangkah pergi dari rumah. Ia hanya ingin mencari udara segar.
Meskipun ia sendiri tidak tahu ada di mana udara seperti itu. Karena sungguh,
sesekali ia ingin merasa bebas.
Akhirnya ia tidak lagi memusingkan akan pergi ke
mana. Hanya melangkahkan kakinya sesuai dengan arah yang sudah dihafalnya.
***** Malam semakin larut. Sesekali ia mendengar temannya bekata, bahkan memaki dan berkeluh-kesah. Ia tidak peduli. Kepalanya terasa berat. Tapi ia merasa telah terlelap. Ia merasa melayang. Bebas. Namun dalam kebebasan itu, masih bisa ia mendengar sebuah suara. Ya, suara seseorang yang telah dikenalnya sejak lahir.
‘Ada apa?’ Tanya suara itu.
“Aku lelah.” Jawabnya
‘Apa yang membuatmu lelah?’
“Semuanya. Bahkan rasanya hampir setiap saat.
Terkadang aku merasa sendiri. Terlebih setelah bocah laki-laki itu muncul. Ia
awal dari ketidak bahagiaanku.”
‘Benarkah?’
“Ya. Apa kau lupa? Bapak jadi berubah sejak ada
dia!”
‘tapi dia
adikmu. Kamu yakin membencinya?’
“Aku rasa.”
‘Lalu sekarang, apa maumu?’
“Entahlah.
Aku ingin kasih sayang. Hidup di tengah cinta seperti dulu. Nisah, kau ingat
kan saat kita masih kecil?”
‘Ya aku ingat. Saat itu, semuanya masih
tampak normal dan baik-baik saja.’ Ucap suara itu. ‘Saranku, jika
ingin dicintai, berjuanglah. Cintailah dulu orang yang paling kau benci.’ Lanjutnya
yang sudah tak lagi didengar Baskara. Karena kini ia telah benar-benar
terlelap.
*****Udara malam di alun-alun kota terasa menusuk. Terasa agak dingin dari biasa. Di sebuah warung pinggir jalan, mereka duduk. Di meja terhidang 2 piring roti bakar, segelas jahe susu milik sang gadis, dan sebotol soda untuk Baskara.
“Aku sempat khawatir. Soalnya saat terakhir kali
aku meneleponmu beberapa bulan lalu, kau tidak lagi menyahut ucapanku. Dan
lagi, sejak saat itu kau sama sekali tidak memberi kabar.” Ucap gadis bernama Nisah. “Kamu tahu Bas, aku
sedikit kecewa kepadamu. Mengapa hal sepenting menikah, aku sampai tidak tahu?”
“Aku malu, Nisah.” Wajahnya tertunduk.
“Kenapa? Apa yang membuatmu malu?” Nisah justru
menatapnya. Mencari jawaban.
“Semuanya. Aku malu karena telah membuat malu
semuanya. Keluargaku.”
“Lalu kenapa kau melakukannya?” gadis itu
berhenti makan dan meletakkan garpunya.
“Jujur
saja, aku dendam. Kau ingat keluargaku? Kau ingat ibuku? Kau ingat bapakku?”
Ucap Baskara sambil memutar-mutar botol soda di genggamannya.
“Ah… ya, aku mengerti.” Ucapnya lirih. “ Lalu,
apa kau ingin anakmu menjadi sepertimu?” tanya Nisah.
“Apa aku begitu buruk?” ia berhenti, lalu menatap
Nisah
“Menurutmu bagaimana?”“Aku bukan anak yang baik. Tapi aku tidak ingin anakku seperti itu.”
“Maaf, tapi itu maksudku. Lalu, apa kau ingin
menjadi seperti ayahmu?” tanyanya. “Aku tidak tahu bagaimana penilaianmu terhadap
om. Tapi jujur saja, aku tidak menyukai om Didik sebagai bapakmu. Ia terlihat
seolah-olah ia pergi begitu saja dan tidak memerdulikan keluarganya.”
“Apakah aku akan menjadi seperti itu?”
“Entahlah. Itu pilihanmu.” Jawab Nisah. “Lalu
pertanyaanku selanjutnya, apa kau ingin menjadikan Widya seperti ibumu?”
Tanyanya. “Aku yakin, lebih dari pada siapapun, sesering apapun kau
membangkang, kau adalah orang yang paling tahu dan mengerti kondisi ibumu.”
Hening.
Baskara termenung. Ia benci mengakui adanya kebenaran dalam pernyataan Nisah.
“Tentu aku tak mau Widya seperti itu.” desahnya.“Hah…” Nisah menghela nafas. Sedikit bingung harus menanggapi bagaimana. Ia merasa menyesal.Terlalu banyak penyesalan dan pengandaian. Seandainya ia bisa lebih banyak mendengar keluh-kesah Baskara. Seandainya mereka tidak hanya bertemu setahun sekali. Seandainya keluarga Baskara masih ‘senormal’ dulu. Seandainya dulu ia berhasil meyakinkan Baskara untuk menuntaskan sekolahnya. Seandainya, seandainya, seandainya… Akhirnya Nisah tersadar dan tidak melanjutkan pengandaiannya dan menyalahkan Tuhan atas segala sesuatu yang telah terjadi.
“Lalu aku harus bagaimana?” tanya Baskara.
“Bas,umur kita hanya berpaut 2 tahun. Dan aku
tidak lebih tua darimu. Aku rasa kau bisa bersikap lebih bijak daripada saran
apapun yang akan aku berikan.”
“Tapi aku butuh saran.”
“Bas, kau sahabatku. Aku sangat mendukung
keputusanmu yang memilih untuk berumah tangga di usia muda dan merawat Naura
anakmu sekarang. Kau mungkin merasa menjadi orang paling malang, jadi aku akan
sangat meghargai jika kau bisamenjadikan Widya dan Naura sebagai orang paling
beruntung karena ada dalam perlindunganmu sebagai kepala rumah tangga.”
“Lalu apa yang harus kulakukan?” Baskara
memasukkan seiris roti ke dalam mulutnya, sambil memerhatikan Nisah yang
melalukan hal serupa.
“Sudah kukatakan, aku tahu kau lebih bijak
dariku. Karena sejak dulu aku tahu, kau berani untuk mengatakan apa yang kau
mau. Jadi saranku, lakukanlah yang menurutmu baik dengan sepenuh hati, sehingga
kau tidak perlu lagi merasa memermalukan semua orang.” Ucapnya setelah ia
menelan roti manis itu.
Selanjutnya, mereka menikmati sisa hidangan dalam
diam. Sibuk dalam fikiran dan kecemasan masing-masing. Hah, masa depan. Bisakah
kau menunjukkan sedikit wajahmu pada mereka?? ...