Senin, 22 September 2014

Romantika Cinta HamuR

Rumah itu hampir tak pernah sepi. Kali ini mereka bertengkar lagi. Mereka bahkan tidak peduli pada anak-anak mereka yang kini telah mengunci kamar, berharap mendengar keheningan. Kedamaian.
            “Kamu baik-bak  aja, Mik?” tanya Hamur. Miko -  seorang bocah berusia 8 tahun yang ditanya HamuR - pun menatap HamuR dan mengangguk.
            “Kamu tenang aja, Aga udah di kamar Dian. Sekarang pasti udah tidur.” Hibur HamuR. “sepertinya Roni akan pulang sebentar lagi. Kamu tunggu aja di kamarnya,” sarannya sambil tersenyum dan mengusap lembut bahu Miko. Miko pun menurut dan beranjak dari atas ranjangnya menuju kamar Roni.
            Lalu HamuR pun keluar dari kamar Miko, menatap lantai bawah. Pertengkaran sepertinya hampir selesai. Nyonya besar berteriak sangat kencang lalu menghilang di balik bantingan pintu kamarnya.
            “Mereka begitu mesra ketika pertama kali mereka datang,” gumam HamuR. Lalu setelah itu, Tuan besar pun pergi dari rumah. Maka, HamuR pun mengerti bahwa pertempuran telah usai.
*****
            Jam 2 dini hari. Seseorang melangkah masuk ke dalam rumah. Ya, dia adalah Roni. Pemuda pemabuk, anak pertama Tuan dan Nyonya besar.
            Roni tersenyum. Entah karena apa. Ia tampak dengan langkah silang. Linglung dan berantakan, sebagaimana orang mabuk. Di sana, sisa-sisa pertempuran masih dalam posisinya semula. “Hey-yow! Sepertinya pertempuran malam ini berakhir seimbang. Lalu bagaimanakah... kelanjutan kisahnya? Ahaha... ” ucap Roni sampil menggerak-gerakkan badannya dan melangkah. Kata-kata itu menggaung di seluruh ruangan. Lalu memudar seiring kepergian Roni ke kamarnya.
            Roni menatap kasurnya. Lalu menghampirinya dengan langkah terseret. Lalu ia pun tidur di sana dengan memeluk gumpalan yang sesaat tadi sempat menggeliat di balik selimut.
Ya, itu adalah Miko. Anak ke tiga dari 4 bersaudara. Dan, banyak yang menyebutnya gila.
            Miko keluar dari balik selimut, melepaskan pelukan kakaknya. Bau alkohol menyeruak ke hidungnya, tapi itu hal biasa. Mereka memang dekat. Roni sadar, dia hanya merasa harus menemani adiknya. Miko tak pernah protes, seperti apapun dirinya.
            “Kamu belum tidur?” tanya Roni dengan mata setengah terpejam. Miko yang telah terduduk menatap kakaknya lalu menggeleng.
            “Hamur juga?” tanya Roni. Miko mengangguk.
            “Yaudah anak manis, sekarang udah waktunya bobo,” ucap Roni sembari mencoba memeluk Miko dan menyuruhnya tidur. Yang terjadi malah lain. Miko memegang dahi Roni, seolah menanyakan ‘apa kau baik-baik aja?’
            Roni menurunkan tangan Miko dari dahinya. “Bilang pada Hamur untuk berhenti mengasihaniku,” ucapnya.
            Miko menatap sudut ruangan lalu menggeleng dan menunjuk dirinya sendiri. Karena sesungguhnya, dirinyalah yang merasa khawatir.
            Roni menghela nafas sebelum menjawab, “Aku baik saja, Miko. Aku hanya pusing dan... lelah.” Ia tak lagi bicara. Ia sadar, tanpa banyak bicara pun aroma yang dibawanyamungkin membuat Miko merasa tak nyaman.
            Miko menatap kedua mata kakaknya lantas berbaring dengan masih menatapnya. Lalu, Miko pun memeluk Roni, mencoba untuk tidur dan menemani kakaknya yang kelelahan.
*****
            Harapan Miko.
            Miko menujukkan tulisan itu pada Roni. Dan ketika Roni hendak membukanya, Miko pun melarangnya.
“Apa boleh Mas buka?” tanya Roni. Miko menatap sekeliling, khawatir jika ada orang lain yang akan melihatnya.
Roni tersenyum, “Akan Mas rahasiakan,” ujarnya. Menuruti tuntutan adiknya agar tak ada orang selain dirinya yang melihat isinya. Roni pun membuka lipatan itu perlahan dan menatap isinya. Lalu mengacak rambut Miko sambil tersenyum iba.
Miko menarik lengan baju Roni. Lalu takut-takut menunjukkan tulisan tangannya di papan tulis kecil miliknya.
 “Apa itu ‘gila’?” Roni terkejut, lalu pura-pura berpikir.
“Mungkin seperti mas,” jawabnya. Miko menggeleng.
“Mereka menatapku ketika mengucapkannya,” ucap Miko. Roni tersenyum lalu berucap, “Ngga ada yang salah dengan  itu.”
“HamuR bilang, dia tidak suka topik ini.” Tulisnya, lalu menatap sudut ruangan.
Mungkin karena ia hanyalah bagian dari dirimu,” Batinnya mengeluh. Namun mulutnya hanya tersenyum. Ia memang tidak berniat melanjutkan pembicaraan. Ia biarkan Miko sibuk dengan dirinya sendiri.
 Roni menatap sekeliling, betapa pilu hatinya menatap kartu-kartu harapan Miko yang menggantung dari langit-langit kamarnya. Itu adalah kebiasaan Miko. Kebiasaan yang ia dapat dari papanya, Tuan Besar. Kebiasaan yang telah ia wariskan pada Miko.
            Semoga Mas Roni cepat sembuh.
            Aga ngga nangis lagi.
            Mbak Dian bisa bertemu HamuR.
            Itulah beberapa harapan yang Miko gantungkan. Harapan Miko selalu sesederhana itu. Roni sadar. Kebiasaan ini salah. Harapan memang bukan untuk digantungkan.
            “HamuR bilang dia mencintaimu,” ucap Miko tiba-tiba, membuat Roni menoleh.
            Roni lelah, hampir tak pernah rasanya ada hal baik yang datang pada dirinya. Tak pernah rasanya ada hal baik yang datang dari dirinya. “Apa dia akan membuatku bahagia?” tanya Roni. Miko pun menatap Roni  dan mengangguk.
            Roni tersenyum. Getir dan bersyukur. Mungkin saat ini, ia telah sama gilanya dengan Miko. Dia menginginkan ketenangan.
*****
            “Mik, kenapa kamu menulisnya seperti itu?” tanya Roni. Menunjuk tulisan tangan Miko.
            Miko tersenyum, seperti senang mendapat pertanyaan ini dari kakaknya. Lalu ia pun menjawab, “Karena memang begitulah namanya.” Miko menatap tulisannya “HamuR”
*****
Jiwa yang telah terbebani terlalu berat dan terlalu lama akhirnya tumbang. Jalan kebahagiaan telah ia temukan: Menyerah.
Tok... tok...
            Miko pun menyibak selimut di kakinya dan bangkit. Ia pun membuka pintu. Setelah pintu dibuka tampaklah Dian.
            “Mm... apa Mbak bangunin kamu?” tanya Dian. Miko menggeleng, lalu membuka pintunya lebih lebar. Mempersilakan Dian masuk.
            “Mbak hanya khawatir dengan kamu,” ucap Dian memulai pembicaraan setelah duduk di ranjang Roni. Kamar ini masih sama seperti sebelum ia ditinggalkan. Miko pun memiringkan kepalanya seolah bertanya ‘kenapa?’
            “Makanmu jadi berkurang akhir-akhir ini,” ucap Dian. “ada apa?” tanyanya.
            Miko menjulurkan tangannya, dan diberikannya kepada Dian lipatan kertas yang sejak tadi digenggamnya.
            ‘Roni merindukanmu. Ia tak bisa sebahagia semestinya. HamuR.’
            Dian menghela napas, “Kamu merindukan mas Roni?” tanya Dian. Miko mengangguk. Matanya berkaca-kaca. “Aku juga merindukannya,” lanjut Dian.
            “Benarkah?” tanya Miko. Dian mengangguk. “sudah 10 hari lebih Mik. Kenapa dia memilih untuk meninggalkan kita, dengan cara yang tak semestinya?” Tanya Dian.
“Dia tidak pergi.” Ucap Miko lalu menatap keluar jendela. “Dia hanya kelelahan. Jadi, dia beristirahat dan tidur.” Mereka sadar mereka sama-sama lelah. Keduanya lalu terdiam dalam fikiran yang sama bernama kehilangan.
*****
Roh-roh dari raga yang telah mati akan terbakar. Kemudian terbang dan kembali tumbuh menjadi jiwa sebuah bintang.
Mereka kembali bermain drama “Kamu yang Salah”. Kali ini temanya adalah Roni. Si Sulung yang telah mati.
Dian sungguh tidak mengerti. Terkadang ia tidak ingin menjadi dewasa jika melihat papa-mamanya. Selama ini ia sudah berusaha menjadi anak yang baik dengan diam saja. Namun, kesabarannya memang terbatas. Ia murka. Emosinya yang terkubur dan menimbun pun buncah, hingga tumpah.
“Papa dan Mama selalu bertengkar! Kenapa papa dan mama ngga bisa ngalah aja, sih! Mas Roni sampai memilih menyerah. Apa itu ngga cukup untuk membuat kalian tidak saling menyalahkan?! Ini salah kalian mas Roni pergi. Sadarlah dan jadilah dewasa!”
Dian berteriak dalam tangis, lalu berlari menuju kamarnya, menguncinya dan berteriak sangat keras. Cukup satu kali. Lalu yang ia lakukan adalah menyalakan musik dengan volume yang sangat keras, hingga ia pun jatuh tertidur.
*****
Tok... tok...
Dian terbangun dari tidurnya. Ia tak tahu sejak kapan pemutar musik yang ia mainkan kehabisakan lagu untuk diputar. Intinya adalah, ia tidak tahu sudah berapa lama ia tidur.
Ia pun duduk dan menatap jendela. “Sudah malam rupanya,” gumamnya, lalu bangkit untuk membuka pintu. Miko berdiri di sana, dengan mata mengantuknya.
“Tadi HamuR bangunin aku,” ucapnya.
“Tapi kamu yang bangunin Mbak,” sahut Dian.
“...” Miko tertunduk. “maaf,” lirihnya.
Dian tersenyum, “Ngga apa kok. Ada apa? Ayo masuk.” Ajak Dian. “Kok belum tidur?” tanya Dian begitu Miko telah masuk.
 “HamuR yang bangunin aku.”  Miko cemberut.
Dian menghela nafas, “Lalu ada apa?” tanyanya.
“Dia bilang dia mencintaiku dan Mbak,” ucap Miko sambil menatap Dian.
Lagi. Dian menghela nafas, “Apa dia mengatakan kalau dia juga mencintai mas Roni?” tanya Dian. Miko pun mengangguk. “Lalu bagaimana dengan Aga?” Dian mulai tidak sabar.
Miko diam. lalu menatap sudut ruangan. Lalu mengangguk pasti.
“Lalu bagaimana dengan Papa dan Mama?” Tanya Dian lagi.
“Mereka begitu mesra ketika mereka datang,” ucap Miko. Dian diam. tidak yakin dengan apa yang didengarnya dari mulut Miko. “Apa artinya?” tanya Dian.
Miko kembali diam dan menatap sudut ruangan. Kali ini cukup lama. Kemudian, ia menelungkupkan wajahnya di atas bantal.
“Ada apa?” Dian menyentuh bahu Miko khawatir.
Miko mengangkat wajahnya. Kembali cemberut. “Aku tidak mengerti artinya,” balasnya.
Dian tersenyum. Miko biasanya lebih banyak diam atau berbicara dengan HamuR. Tidak biasanya adiknya banyak bicara pada dirinya. Ya, mereka memang tidak terlalu dekat. Dian lebih dekat dengan Aga, sedangkan Miko lebih dekat dengan Roni.
Mendiang kakaknya pasti senang dengan kemajuan ini. “Kamu ngga harus mengerti sekarang.” Hibur Dian.
Dian senang, sungguh. Setidaknya ada kedamaian ketika ia bersama adik-adiknya.
Miko rebah. Ia masih mengantuk.
“Kamu tidurlah, Mbak akan ke kamar Aga sebentar.” Dian menarik selimut ke tubuh Miko.
“Dia sudah tidur. Aku yang menemaninya tadi.” Cegah Miko.
Dian berhenti, lalu tersenyum. “Terima kasih,” ucapnya. Miko mengangguk.
Sesaat itu, senyum miris membayang di wajahnya. Miko adik yang baik, anak itu manis. Sayang, adiknya tak pernah bisa terlalu berekspresi.
 “Apa Mbak masih sedih?” tanya Miko.
Dian mengelus kepala Miko, “Tidak terlalu,” jawabnya ragu.
“Mbak tidak mengantuk?” tanya Miko.
“Mbak baru saja bangun, Mik,” jawab Dian.
“Tidurlah, Mbak. HamuR ingin kita segera menemuinya,” ucap Miko.
Sebelah alis Dian terangkat, “Bukankah dia selalu bersamamu?” tanyanya.
“Ya. Tapi ia ingin Mbak menemuinya juga,” jawab Miko.
“Mik, bisakah kita berhenti membicarakan Hamur? Mbak tidak pernah memercayainya,” ucap Dian. Miko memiringkan kepalanya seolah bertanya, “kenapa?”
Dian berusaha keras menahan emosinya. Ia genggam selimut di sana erat-erat, “Selalu hanya kamu yang bisa melihat dan bicara dengannya. Bukan Mbak, Aga, bahkan Mas Roni.” Dian hampir menangis. Bertanya, apakah ada satu hal saja yang normal dari adiknya?
Beberapa saat, hening berbicara, “Tidurlah Mbak,” ucap Miko tenang sambil menatap Dian, “Nanti Mbak akan percaya. Ia akan mengajak kita ketempat yang indah dan tenang,” ucap Miko tanpa ekspresi berarti. Kadang, - entah bagaimana - Miko berhasil membuatnya takut.
“Dia yang menjanjikan itu?” tanya Dian. Miko mengangguk.
“Aku yang akan membuat Mbak percaya,”
Dian ragu. Namun memilih mengalah pada keinginan adiknya. Maka, ia  pun rebah di sisi Miko.
Mereka pun tidur. Semakin dalam dan gelap. Dalam kelelapan, mereka menyadari kehangatan yang mendekat. Menghadirkan ketenangan dan kedamaian. Lalu sebentuk cahaya mendekat. Sebentuk tubuh dari nyala api. Menyambut mereka dengan senyuman hangat.
Kini Dian merasa telah sama gilanya dengan Miko. Tapi ia merasa mengenalnya, HamuR.
Lalu rasa mereka lepas. Mereka terbang dan melayang. Mereka bebas. Lalu muncul cahaya lain. Mereka melihat Roni. Kerinduan mereka terobati. Dan mereka pun menari.
*****
            Rumah itu hampir tak pernah sepi. Kali ini lebih ramai dari biasanya. Karena sungguh, bisik dari lidah jauh lebih tajam. Ia dapat membuat luka semakin dalam. Bahkan memaksa kita menangisi kenyataan.
Api sudah dipadamkan. Semua miliknya pergi tanpa salam. Hanya abu sisa semalam. Para petugas mengatakan bahwa lilin yang menyambar hordenglah penyebabnya. Rumah itu terbakar. Atau, bisa kukatakan bahwa rumah itu bunuh diri. Bukankah kalian mengenalnya?
Raungan dari Nyonya Besar dan isak tertahan dari Tuan Besar tidak akan mampu merubah kenyataan. Entah mereka harus bagaimana.
            Dalam tangisnya, Nyonya besar mendekap Aga – yang sedang tak sadarkan diri - erat-erat. Sementara tangannya menggenggam kertas yang ia dapatkan dari Aga. Setengah hangus, kertas itu masih menampakkan pesannya, tulisan tangan Miko,

Kesempatan terakhir. HamuR


nb: cerpen ini pernah nekat aku lombakan, dan kalah :)

Páginas

Blogroll

Blogger templates

Blogger news