Kamis, 03 April 2014

Vanilla Lat(t)e



Jam makan siang bisa dibilang telah berlalu, namun tak  membuat keadaan di café ini sepi. Para pengunjung memang tidak seramai jam makan siang, namun cukup untuk membuat para pelayan café ini tidak dapat hanya duduk dan berdiam diri saja.
                Kling . . .
                Suara lonceng di pintu masuk café kembali terdengar. Menunjukkan sesosok tubuh yang tertutup jaketnya, juga wajah di balik kacamata hitamnya. Pria itu masuk dan memilih duduk di sisi jendela café yang mengaah langsung ke arah jalan.
                “Permisi…” sapa seorang waitress sambil tersenyum ramah. Pria itu menoleh dan tanpa ditanya lagi oleh si pelayan, pria itu langsung menyebutkan pesanannya.
                “Vanilla Latte, satu. With no ice.” Ucapnya sambil tersenyum.
                “Apakah ada yang lain?” tanya sang waitress.
                “No, thanks.” Jawabnya lagi. Kali ini sambil membalas senyum waitress itu. Waitress itu pun segera berlalu dan beberapa saat kemudian kembali dengan secangkir vanilla latte hangat di atas nampan dalam genggamannya.
                “Ini pesanan Anda, secangkir vanilla latte hangat. Apakah ada yang lain?” tanya sang waitress seraya meletakkan pesanan tamunya di meja, dengan tetap ramah. Pria itu menggeleng.
                “Selamat menikmati.” Ucap waitress itu sebelum akhirnya berlalu.
                Pria itu tidak langsung meneguk minumannya. Diangkatnya cangkir kecil itu, kemudian meniup lembut permukaannya yang hangat, lalu menghirup aromanya. Baru setelah itu ia teguk sedikit minuman yang akhir-akhir ini menjadi favoritnya itu. Manis, mungkin itulah sensasi yang kini tengah dirasakan oleh hatinya.
                Dilihatnya pergelangan tangan kanannya, tempat dimana ia biasa membiarkan jamnya melingkar. “Jam 13.55 pm.” Ujarnya dalam hati. “Kayaknya, gue dateng terlalu cepet, deh.” Gumamnya kemudian dan tanpa ambil pusing, ia kembali meneguk minumannya.
                Kini ia memandang ke luar jendela. Jalanan diluar tampak teduh, setidaknya di depan café ini. Tapi selebihnya? Entahlah. Terlalu sulit untuk dijelaskan. Panas? Mungkin. Teduh? Kurasa tidak. Gersang? Ya, kurasa itu kata yang lebih sesuai. Padahal bersisian, mengapa jalanan di depan bisa begitu berbeda?
                Belum habis lamunannya, suara lonceng di pintu masuk café kembali terdengar, membuatnya kembali menoleh. “Akhirnya dateng juga…” syukurnya dalam hati, lalu tersenyum pada seseorang yang kini menghampiri mejanya.
                “hei…” sapanya ketika orang yang ditunggunya telah duduk dihadapannya.
                “aduuh, sori ya, Di. Lu udah nunggu lama, ya?” Tanya gadis itu, merasa tak enak hati.
                “ah, nggak kok. Kebetulan aja gue yang datengnya kecepetan.”Jawab Adi, pria itu.”Lo mau pesen apa?” tanyanya kemudian.
                “Milkshake Vanilla.” Jawab gadis itu pasti.
                Lalu, Adi pun memanggil seorang waitress dan menyebutkan apa yang Tasya – gadis itu – inginkan.
                Sambil menunggu minumannya datang, dengan lancarnya Tasya  menceritakan apa saja. Mulai dari harinya yang kacau karena jam beker dikamarnya rusak, suasana sarapan yang ‘ramai’ karena ada dirinya dan adiknya, kerabatnya yang akan menjadi polisi, sampai kemacetan-kemacetan yang hampir tiap hari terjadi.
                xxxxxxxx
                Acara pertemuan tadi harus berakhir pada pukul 17.00. Adi memang pernah berjanji pada Tasya akan mengajaknya pergi. Dan disaat yang hampir sama, Tasya sedang mendapat tugas untuk makalah seputar go green. Akhirnya Adi memutuskan untuk mengajak Tasya ke tempat yang ia anggap berpotensi menjadi taman kota yang diminati. Satelah menemaninya minum kopi tentunya.
                Dan saat ini, Adi sedang berada di depan televisi, dengan tidak lupa ditemani secangkir minuman favoritenya, Vanillla latte. Kali ini yang hangat. Adi sendiri lupa sejak kapan ia mulai menyukai , bahkan mungkin menggilai minuman ini. Rasa hangat dari setiap hembus nafasnya yang Adi arahkan ke permukaannya, selalu kembali ke wajahnya denganmembawa serta aromanya yang khas. Manis, seperti Vanilla.
                “ya, manis! Mungkin itulah rasa yang tepat.” Batinnya berucap. Sementara imajinasinya melalang buanana ke tempat-tempat indah itu. taman-taman kota yang teduh, hijau, pohon-pohon kanopi, juga bunganya yang warna-warni. Dan lagi-lagi, untuk yang kesekian kalinya, ia tersenyum. Membayangkan imajinasinya yang terlalu indah untuk dijelaskan.
xxxxxxx
                Beberapa hari kemudian, 7 hari tepatnya, dan sekarang hari sabtu. Tasyatengah berada di kantin menunggu seseorang yang telah membantunya sukses dalam tugasnya kali ini. Ya, tentang calon-calon taman itu.
                Tak terlalu lama, menunggu, orang yang ditunggunya datang juga. Kali ini pria itu tampak sangat santai, dengan celana denim dan kaus birunya. Rambutnya yang ikal telah a beri sedikit gel, sehinga Nampak lebih kaku. Adi. Dan yang terpenting, kali ini wajahnya diiringi senyuman penuh. Menandakannya yang sedang dalam mood baik.
`               “Udah lama nunggu?” tanya Adi ketika ia telah duduk di hadapan Tasya.
                “Ngga juga. Lagian gue yang undang lu. Akan aneh kalo lo yang nungguin gue,” jawabnya. “oh iya, lu mau pesen apa? Gue traktir yang ada disini aja ya?” tanyanya kemudian, yang disambut dengan anggukan dari orang di depannya.
                “Untuk minum, gue mau Vanilla Late, trus makannya…mmm…mie ayam, deh” jawabnya.
                “Okeh. Lu tunggu disini sebentar, ya.” Ucap gadis itu kemudian berlalu.
                Sambil menunggu Tasya yang sedang memesan makanan, Adi mengeluarkan satu bungkus permen dari saku celananya. Yap, lagi-lagi rasa Vanilla. Dan lagi-lagi, hatinya dan seluruh harinya menjadi manis!
Tak lama kemudian, Tasya pun kembali dengan nampan yang berisi pesanannya dan pesanan Adi. Adi mengambil bagiannya, segelas Vanilla Latte dingin dan semangkuk mie ayam.
“Ini beneran kan, lu yang traktir?” canda Adi.
“Beneran-lah. Kan kemarin lu juga udah bantuin tugas gue yang kemarin.” Jawab Tasya, sembari terseyum tulus.
“Ciyuuss?” Adi masih belum puas menggoda Tasya.
“Ih… apaan sih. Aleman nih!” seru Tasya, sambil memukul pelan lengan Adi.
“Aauu… atiit.” Ucap Adi seraya mengusap lengannya yang tadi dipikul sangat pelan oleh Tasya.
Tasya tidak lagi menanggapi, ia hanya memutar kedua bola matanya. Jengah. Dan pada saat yang bersamaan, tawa Adi meledak. Sementara Tasya mulai menyantap makananya.
“Kenapa sih setiap gue liat yang jadi minuman lu selalu vanilla latte?” Tasya bertanya sambil menyedot lemon tea-nya.
“Mmm…” Adi berfikir sejenak. Karena bahkan dirinya sendiri tidak tahu alasannya. “kenapa, ya?” tanyanya, lebih kepada dirinya sendiri.
“Kok balik nanya sih?” tanya Tasya, agak kesal.
“Mmm… sebenernya gue suka semua rasa vanilla, Sya.” Jawabnya. “soalnya rasanya manis. Yang hangat, bikin gue nyaman. Sedangkan yang dingin, membuat gue nyaman.” Jelasnya, sedikit bangga dengan perumpamaan yang dibuatnya.
“O…”  ucap Tasya tanpa suara sambil mengangguk-angguk dan bersiap memasukkan suapan terakhir siomay-nya.
“I’m finish.” Ucap Adi yang ternyata telah lebih dulu menyelesaikan makannya. “huaah… kenyaaang!!” lanjutnya.sekarang ia duduk dengan kaki lurus dan tubuh yang ia biarkan merosot hingga setinggi sandaran kursi di kantin tersebut.
“Trus gimana?” tanya Tasya.
“Apanya?” Adi balik bertanya, bingung.
“Ih, ‘Vanilla Latte’” tukasnya.
“Oh, itu… “ ucapnya sambil tersenyum, kemudian menegakkan posisi duduknya. “Gue kenal seorang. sebut aja namanya Gadis. Gadis itu manis, seperti vanilla, juga bisa nenangin gue dan membuat gue merasa  nyaman di dekat dia. Dan yang paling penting Cuma Vanilla yang bisa nemenin gue waktu gue kangen sama Gadis itu.” jelas Adi panjang lebar. Saat ini Adi berniat untuk menceritakan semuanya.
“Tasya,” panggil seseorang, membuat Tasya dan Adi sama-sama menoleh. Tasya tersenyum senang sedangkan Adi tersenyum bingung.
Ketika orang itu sampai di meja mereka, ia tidak langsung duduk. “ini pasti Adi,” ucap pria itu kearah Adi. Adi hanya tersenyum pada Tasya seolah-olah mengatakan ‘kok tahu?’
Seolah bisa membaca arti tatapan Adi, Tasya berucap, “gue sering cerita tentang lu ke dia.” Dan mendapat sambutan ‘O’ panjang tanpa suara dari Adi.
“Oh iya! Kenalin, Di, ini Raka.” Lanjutnya.
Raka mengulurkan tangannya yang segera disambut Adi.
“Raka,”
“Adi,” ucap mereka bergantian.
“mmm… Sya, aku tunggu di sana, ya.” Ucap Raka sambil menunjuk sekelompok orang di sisi lain kantin ini. Tasya menyambutnya dengan anggukan dan detik berikutnya ia mengangkat tangannya sebagai salam kepada Adi dan melangkah.
“Siapa, Sya? Pacar kamu, ya?” tanya Adi bermaksud bercanda. Sebuah candaan yang sangat disesalinya. Karena yang ditanya hanya menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah. “udah berapa lama?” tanyanya berusaha tampak biasa. Tetap dengan senyumnya.
“Sejak sabtu kemarin. Hari ini genap 1 minggu.” Ucap gadis itu malu-malu.
Seketika, udara di sekitar Adi terasa begitu panas. Namun secepat mungkin ia segera menormalkan air mukanya kembali. Tapi dia terdiam, sambil mengaduk Vanilla Latte-nya yang mulai mengeluarkan bulir-bulir bening di permukaan luar gelasnya.
Bagaimana rasanya saat ini, ya? Tanyanya dalam hati. Dan karena rasa penasaran itulah, tubuhnya bergerak maju untuk menyesap air berwarna kecoklatan dalam gelas itu. pahit. Esnya pasti udah mencair. Batinnya lagi.
“Di… “ ucap gadis di depannya sambil menyentuh pelan tangan Adi.
“Hmm…” gumamnya. Hampir saja ketahuan bahwa ia terkejut.
“Lo marah, ya?” tanya Tasya.
“Soal apa?” Adi balik bertanya.
“Karena gue tanya soal Vanilla Latte…” sesal Tasya.
“Hahaha…” Adi tertawa renyah. Sangat lepas karena wajah polos yang entah sengaja atau tidak ditampilkan leh Tasya.
“Kok ketawa, sih?” dengus Tasya.
“Maaf… maaf…” ucap Adi. “Gue nggak marah kok. Gue cuma mengira lu udah ngga tertarik lagi sama cerita tentang itu.” Jelasnya.
“Kata siapa? Gue masih penasaran, tau.” Tasya berucap penuh semangat.
“Okeh." Adi tersenyum penuh arti, kemudan berdeham " Tapi sayang Sya, ini bukan kisah yang bahagia. Saat gue mulai yakin sama hati gue dan berniat untuk mengungkapkan perasaan gue, Gadis ini ternyata udah ada yang punya. Jadi, ya… bisa dibilang gue kalah cepet sama pacarnya Gadis sekarang.” Jelasnya mengakhiri cerita.
Tasya mengangguk-angguk. “lu ngga merasa kesel sama Gadis atau pacarnya?” tanya Tasya kemudian.
“Ya nggak lah, Sya. Gue bahkan akan dengan sangat tulus selalu mendoakan dia bahagia.” Jawabnya penuh arti. “Ditungguin tuh sama pacarnya.” Ucapnya sambil mengibaskan tangannya di depan wajah Tasya. Tunjuk Adi pada sosok yang berjalan mendekati mereka. Tetap tersenyum.
“Mau pulang sekarang?” tanya Tasya ketika Raka sudah berada di dekatnya. Raka Tersenyum. “kapan pun kamu mau. Adi, Tasya-nya gue bawa boleh, ya?” tanya Raka, sambil tersenyum lebar.
“Bolehlah. Why not?” jawab Adi disertai sebuah tawa dari bibirnya.
“Yaudah, pulang yuk.” Ajak Raka. Kali ini bicara langsung kepada Tasya. Tasya mengangguk lalu menyambut juga tangan Raka.
“Gue pulang duluan ya, Di. Tenang aja, makanan lu udah gue bayarin, kok.” Gurau Tasya sambil bersiap pergi.
“Iya. Ati-ati, ya. Ka, gue titip Tasya, ya.” Jawabnya. Lagi-lagi sebuah kalimat dengan arti yang hanya akan dimengertinya. Setelah itu, ia menatap sendiri Tasya dan Raka yang pergi menjauh. Bergandengan. Seperti layaknya sepasang kekasih. Ya, mereka memang sepasang kekasih.
“Yah… es-nya udah abis mencair. Pasti rasanya jadi ngga jelas, deh.” Gerutu Adi pada minumannya
“Sayang, ya. Andai aja gue lebih cepet. I must be yours.”
“Hmmm… I’m late…” lanjutnya, masih menatap Vanilla Latte dihadapannya. Kali ini, wajah Gadis-lah yang ada dalam benaknya.
“A little late… “
*****
“Udah siap?” Tanya Raka ketika Tasya telah naik dibelakangnya. Gadis itu mengangguk dan mengunci helm di kepalanya, sementara otaknya masih berputar-putar pada sepasang kata “Vanilla-Latte”. Dan tiba-tiba…
“Raka, Late itu bahasa inggrisnya terlambat, kan?” tanya gadis itu. Raka mengangguk, mengembangkan senyuman di wajah Tasya. Ada ide baru yang bagus untuk ia jadikan cerpennya yang selanjutnya akan ia segera tulis. Khusus akan ia persembahkan kepada Adi seorang…

Páginas

Blogroll

Blogger templates

Blogger news