Jam makan siang bisa dibilang telah berlalu, namun tak membuat keadaan di café ini sepi. Para
pengunjung memang tidak seramai jam makan siang, namun cukup untuk membuat para
pelayan café ini tidak dapat hanya duduk dan berdiam diri saja.
Kling . . .
Suara lonceng di pintu masuk
café kembali terdengar. Menunjukkan sesosok tubuh yang tertutup jaketnya, juga
wajah di balik kacamata hitamnya. Pria itu masuk dan memilih duduk di sisi
jendela café yang mengaah langsung ke arah jalan.
“Permisi…” sapa seorang waitress
sambil tersenyum ramah. Pria itu menoleh dan tanpa ditanya lagi oleh si
pelayan, pria itu langsung menyebutkan pesanannya.
“Vanilla Latte, satu. With no ice.”
Ucapnya sambil tersenyum.
“Apakah ada yang lain?” tanya
sang waitress.
“No, thanks.” Jawabnya lagi.
Kali ini sambil membalas senyum waitress itu. Waitress itu pun segera berlalu
dan beberapa saat kemudian kembali dengan secangkir vanilla latte hangat di
atas nampan dalam genggamannya.
“Ini pesanan Anda, secangkir vanilla latte hangat. Apakah ada yang lain?” tanya sang waitress seraya
meletakkan pesanan tamunya di meja, dengan tetap ramah. Pria itu menggeleng.
“Selamat menikmati.” Ucap
waitress itu sebelum akhirnya berlalu.
Pria itu tidak langsung meneguk
minumannya. Diangkatnya cangkir kecil itu, kemudian meniup lembut permukaannya
yang hangat, lalu menghirup aromanya. Baru setelah itu ia teguk sedikit minuman
yang akhir-akhir ini menjadi favoritnya itu. Manis, mungkin itulah sensasi yang
kini tengah dirasakan oleh hatinya.
Dilihatnya pergelangan tangan
kanannya, tempat dimana ia biasa membiarkan jamnya melingkar. “Jam 13.55 pm.” Ujarnya dalam hati. “Kayaknya, gue dateng terlalu cepet, deh.” Gumamnya kemudian
dan tanpa ambil pusing, ia kembali meneguk minumannya.
Kini ia memandang ke luar
jendela. Jalanan diluar tampak teduh, setidaknya di depan café ini. Tapi
selebihnya? Entahlah. Terlalu sulit untuk dijelaskan. Panas? Mungkin. Teduh?
Kurasa tidak. Gersang? Ya, kurasa itu kata yang lebih sesuai. Padahal bersisian,
mengapa jalanan di depan bisa begitu berbeda?
Belum habis lamunannya, suara
lonceng di pintu masuk café kembali terdengar, membuatnya kembali menoleh.
“Akhirnya dateng juga…” syukurnya dalam hati, lalu tersenyum pada seseorang
yang kini menghampiri mejanya.
“hei…” sapanya ketika orang yang
ditunggunya telah duduk dihadapannya.
“aduuh, sori ya, Di. Lu udah
nunggu lama, ya?” Tanya gadis itu, merasa tak enak hati.
“ah, nggak kok. Kebetulan aja
gue yang datengnya kecepetan.”Jawab Adi, pria itu.”Lo mau pesen apa?” tanyanya
kemudian.
“Milkshake Vanilla.” Jawab gadis
itu pasti.
Lalu, Adi pun memanggil seorang
waitress dan menyebutkan apa yang Tasya – gadis itu – inginkan.
Sambil menunggu minumannya
datang, dengan lancarnya Tasya
menceritakan apa saja. Mulai dari harinya yang kacau karena jam beker
dikamarnya rusak, suasana sarapan yang ‘ramai’ karena ada dirinya dan adiknya,
kerabatnya yang akan menjadi polisi, sampai kemacetan-kemacetan yang hampir
tiap hari terjadi.
xxxxxxxx
Acara pertemuan tadi harus
berakhir pada pukul 17.00. Adi memang pernah berjanji pada Tasya akan
mengajaknya pergi. Dan disaat yang hampir sama, Tasya sedang mendapat tugas
untuk makalah seputar go green. Akhirnya Adi memutuskan untuk mengajak Tasya ke
tempat yang ia anggap berpotensi menjadi taman kota yang diminati. Satelah
menemaninya minum kopi tentunya.
Dan saat ini, Adi sedang berada
di depan televisi, dengan tidak lupa ditemani secangkir minuman favoritenya,
Vanillla latte. Kali ini yang hangat. Adi sendiri lupa sejak kapan ia mulai
menyukai , bahkan mungkin menggilai minuman ini. Rasa hangat dari setiap hembus
nafasnya yang Adi arahkan ke permukaannya, selalu kembali ke wajahnya
denganmembawa serta aromanya yang khas. Manis, seperti Vanilla.
“ya, manis! Mungkin itulah rasa
yang tepat.” Batinnya berucap. Sementara imajinasinya melalang buanana ke
tempat-tempat indah itu. taman-taman kota yang teduh, hijau, pohon-pohon
kanopi, juga bunganya yang warna-warni. Dan lagi-lagi, untuk yang kesekian
kalinya, ia tersenyum. Membayangkan imajinasinya yang terlalu indah untuk
dijelaskan.
xxxxxxx
Beberapa hari kemudian, 7 hari
tepatnya, dan sekarang hari sabtu. Tasyatengah berada di kantin menunggu
seseorang yang telah membantunya sukses dalam tugasnya kali ini. Ya, tentang
calon-calon taman itu.
Tak terlalu lama, menunggu,
orang yang ditunggunya datang juga. Kali ini pria itu tampak sangat santai,
dengan celana denim dan kaus birunya. Rambutnya yang ikal telah a beri sedikit
gel, sehinga Nampak lebih kaku. Adi. Dan yang terpenting, kali ini wajahnya
diiringi senyuman penuh. Menandakannya yang sedang dalam mood baik.
` “Udah lama nunggu?” tanya Adi
ketika ia telah duduk di hadapan Tasya.
“Ngga juga. Lagian gue yang
undang lu. Akan aneh kalo lo yang nungguin gue,” jawabnya. “oh iya, lu mau
pesen apa? Gue traktir yang ada disini aja ya?” tanyanya kemudian, yang
disambut dengan anggukan dari orang di depannya.
“Untuk minum, gue mau Vanilla
Late, trus makannya…mmm…mie ayam, deh” jawabnya.
“Okeh. Lu tunggu disini
sebentar, ya.” Ucap gadis itu kemudian berlalu.
Sambil menunggu Tasya yang
sedang memesan makanan, Adi mengeluarkan satu bungkus permen dari saku
celananya. Yap, lagi-lagi rasa Vanilla. Dan lagi-lagi, hatinya dan seluruh
harinya menjadi manis!
Tak lama kemudian, Tasya pun kembali dengan nampan yang berisi pesanannya
dan pesanan Adi. Adi mengambil bagiannya, segelas Vanilla Latte dingin dan
semangkuk mie ayam.
“Ini beneran kan, lu yang traktir?” canda Adi.
“Beneran-lah. Kan kemarin lu juga udah bantuin tugas gue yang kemarin.”
Jawab Tasya, sembari terseyum tulus.
“Ciyuuss?” Adi masih belum puas menggoda Tasya.
“Ih… apaan sih. Aleman nih!” seru Tasya, sambil memukul pelan lengan
Adi.
“Aauu… atiit.” Ucap Adi seraya mengusap lengannya yang tadi dipikul
sangat pelan oleh Tasya.
Tasya tidak lagi menanggapi, ia hanya memutar kedua bola matanya.
Jengah. Dan pada saat yang bersamaan, tawa Adi meledak. Sementara Tasya mulai
menyantap makananya.
“Kenapa sih setiap gue liat yang jadi minuman lu selalu vanilla latte?”
Tasya bertanya sambil menyedot lemon tea-nya.
“Mmm…” Adi berfikir sejenak. Karena bahkan dirinya sendiri tidak tahu
alasannya. “kenapa, ya?” tanyanya, lebih kepada dirinya sendiri.
“Kok balik nanya sih?” tanya Tasya, agak kesal.
“Mmm… sebenernya gue suka semua rasa vanilla, Sya.” Jawabnya. “soalnya
rasanya manis. Yang hangat, bikin gue nyaman. Sedangkan yang dingin, membuat
gue nyaman.” Jelasnya, sedikit bangga dengan perumpamaan yang dibuatnya.
“O…” ucap Tasya tanpa suara
sambil mengangguk-angguk dan bersiap memasukkan suapan terakhir siomay-nya.
“I’m finish.” Ucap Adi yang ternyata telah lebih dulu menyelesaikan makannya.
“huaah… kenyaaang!!” lanjutnya.sekarang ia duduk dengan kaki lurus dan tubuh
yang ia biarkan merosot hingga setinggi sandaran kursi di kantin tersebut.
“Trus gimana?” tanya Tasya.
“Apanya?” Adi balik bertanya, bingung.
“Ih, ‘Vanilla Latte’”
tukasnya.
“Oh, itu… “ ucapnya sambil tersenyum, kemudian menegakkan posisi
duduknya. “Gue kenal seorang. sebut aja namanya Gadis. Gadis itu manis, seperti vanilla, juga
bisa nenangin gue dan membuat gue merasa
nyaman di dekat dia. Dan yang paling penting Cuma Vanilla yang bisa
nemenin gue waktu gue kangen sama Gadis itu.” jelas Adi panjang lebar. Saat
ini Adi berniat untuk menceritakan semuanya.
“Tasya,” panggil seseorang, membuat Tasya dan Adi sama-sama menoleh.
Tasya tersenyum senang sedangkan Adi tersenyum bingung.
Ketika orang itu sampai di meja mereka, ia tidak langsung duduk. “ini
pasti Adi,” ucap pria itu kearah Adi. Adi hanya tersenyum pada Tasya
seolah-olah mengatakan ‘kok tahu?’
Seolah bisa membaca arti tatapan Adi, Tasya berucap, “gue sering cerita
tentang lu ke dia.” Dan mendapat sambutan ‘O’ panjang tanpa suara dari Adi.
“Oh iya! Kenalin, Di, ini Raka.” Lanjutnya.
Raka mengulurkan tangannya yang segera disambut Adi.
“Raka,”
“Adi,” ucap mereka bergantian.
“mmm… Sya, aku tunggu di sana, ya.” Ucap Raka sambil menunjuk
sekelompok orang di sisi lain kantin ini. Tasya menyambutnya dengan anggukan
dan detik berikutnya ia mengangkat tangannya sebagai salam kepada Adi dan
melangkah.
“Siapa, Sya? Pacar kamu, ya?” tanya Adi bermaksud bercanda. Sebuah candaan
yang sangat disesalinya. Karena yang ditanya hanya menunduk, menyembunyikan
wajahnya yang memerah. “udah berapa lama?” tanyanya berusaha tampak biasa. Tetap
dengan senyumnya.
“Sejak sabtu kemarin. Hari ini genap 1 minggu.” Ucap gadis itu
malu-malu.
Seketika, udara di sekitar Adi terasa begitu panas. Namun secepat
mungkin ia segera menormalkan air mukanya kembali. Tapi dia terdiam, sambil
mengaduk Vanilla Latte-nya yang mulai mengeluarkan bulir-bulir bening di
permukaan luar gelasnya.
Bagaimana rasanya saat ini, ya?
Tanyanya dalam hati. Dan karena rasa penasaran itulah, tubuhnya bergerak maju
untuk menyesap air berwarna kecoklatan dalam gelas itu. pahit. Esnya pasti udah mencair. Batinnya lagi.
“Di… “ ucap gadis di depannya sambil menyentuh pelan tangan Adi.
“Hmm…” gumamnya. Hampir saja ketahuan bahwa ia terkejut.
“Lo marah, ya?” tanya Tasya.
“Soal apa?” Adi balik bertanya.
“Karena gue tanya soal Vanilla Latte…” sesal Tasya.
“Hahaha…” Adi tertawa renyah. Sangat lepas karena wajah polos yang
entah sengaja atau tidak ditampilkan leh Tasya.
“Kok ketawa, sih?” dengus Tasya.
“Maaf… maaf…” ucap Adi. “Gue nggak marah kok. Gue cuma mengira lu udah
ngga tertarik lagi sama cerita tentang itu.” Jelasnya.
“Kata siapa? Gue masih penasaran, tau.” Tasya berucap penuh semangat.
“Okeh." Adi tersenyum penuh arti, kemudan berdeham " Tapi sayang Sya, ini bukan kisah yang bahagia. Saat gue mulai
yakin sama hati gue dan berniat untuk mengungkapkan perasaan gue, Gadis ini
ternyata udah ada yang punya. Jadi, ya… bisa dibilang gue kalah cepet sama
pacarnya Gadis sekarang.” Jelasnya mengakhiri cerita.
Tasya mengangguk-angguk. “lu ngga merasa kesel sama Gadis atau
pacarnya?” tanya Tasya kemudian.
“Ya nggak lah, Sya. Gue bahkan akan dengan sangat tulus selalu
mendoakan dia bahagia.” Jawabnya penuh arti. “Ditungguin tuh sama pacarnya.” Ucapnya
sambil mengibaskan tangannya di depan wajah Tasya. Tunjuk Adi pada sosok yang
berjalan mendekati mereka. Tetap tersenyum.
“Mau pulang sekarang?” tanya Tasya ketika Raka sudah berada di dekatnya.
Raka Tersenyum. “kapan pun kamu mau. Adi, Tasya-nya gue bawa boleh, ya?” tanya
Raka, sambil tersenyum lebar.
“Bolehlah. Why not?” jawab Adi disertai sebuah tawa dari bibirnya.
“Yaudah, pulang yuk.” Ajak Raka. Kali ini bicara langsung kepada Tasya.
Tasya mengangguk lalu menyambut juga tangan Raka.
“Gue pulang duluan ya, Di. Tenang aja, makanan lu udah gue bayarin,
kok.” Gurau Tasya sambil bersiap pergi.
“Iya. Ati-ati, ya. Ka, gue titip Tasya, ya.” Jawabnya. Lagi-lagi sebuah
kalimat dengan arti yang hanya akan dimengertinya. Setelah itu, ia menatap
sendiri Tasya dan Raka yang pergi menjauh. Bergandengan. Seperti layaknya
sepasang kekasih. Ya, mereka memang sepasang kekasih.
“Yah… es-nya udah abis mencair. Pasti rasanya jadi ngga jelas, deh.” Gerutu
Adi pada minumannya
“Sayang, ya. Andai aja gue lebih cepet. I must be yours.”
“Hmmm… I’m late…” lanjutnya, masih menatap Vanilla Latte dihadapannya. Kali
ini, wajah Gadis-lah yang ada dalam benaknya.
“A little late… “
*****
“Udah siap?” Tanya Raka ketika Tasya telah naik dibelakangnya. Gadis itu
mengangguk dan mengunci helm di kepalanya, sementara otaknya masih
berputar-putar pada sepasang kata “Vanilla-Latte”. Dan tiba-tiba…
“Raka, Late itu bahasa inggrisnya terlambat, kan?” tanya gadis itu. Raka
mengangguk, mengembangkan senyuman di wajah Tasya. Ada ide baru yang bagus
untuk ia jadikan cerpennya yang selanjutnya akan ia segera tulis. Khusus akan
ia persembahkan kepada Adi seorang…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar