Rumah
itu hampir tak pernah sepi. Kali ini mereka bertengkar lagi. Mereka bahkan
tidak peduli pada anak-anak mereka yang kini telah mengunci kamar, berharap
mendengar keheningan. Kedamaian.
“Kamu baik-bak
aja, Mik?” tanya Hamur. Miko - seorang bocah berusia 8 tahun yang ditanya HamuR
- pun menatap HamuR dan mengangguk.
“Kamu tenang aja, Aga udah di kamar Dian. Sekarang pasti
udah tidur.” Hibur HamuR. “sepertinya Roni akan pulang sebentar lagi. Kamu
tunggu aja di kamarnya,” sarannya sambil tersenyum dan mengusap lembut bahu
Miko. Miko pun menurut dan beranjak dari atas ranjangnya menuju kamar Roni.
Lalu HamuR pun keluar dari kamar Miko, menatap lantai
bawah. Pertengkaran sepertinya hampir selesai. Nyonya besar berteriak sangat kencang
lalu menghilang di balik bantingan pintu kamarnya.
“Mereka begitu mesra ketika pertama kali mereka datang,”
gumam HamuR. Lalu setelah itu, Tuan besar pun pergi dari rumah. Maka, HamuR pun
mengerti bahwa pertempuran telah usai.
*****
Jam 2 dini hari. Seseorang melangkah masuk ke dalam
rumah. Ya, dia adalah Roni. Pemuda pemabuk, anak pertama Tuan dan Nyonya besar.
Roni tersenyum. Entah karena apa. Ia tampak dengan
langkah silang. Linglung dan berantakan, sebagaimana orang mabuk. Di sana,
sisa-sisa pertempuran masih dalam posisinya semula. “Hey-yow! Sepertinya
pertempuran malam ini berakhir seimbang. Lalu bagaimanakah... kelanjutan
kisahnya? Ahaha... ” ucap Roni sampil menggerak-gerakkan badannya dan
melangkah. Kata-kata itu menggaung di seluruh ruangan. Lalu memudar seiring
kepergian Roni ke kamarnya.
Roni menatap kasurnya. Lalu menghampirinya dengan langkah
terseret. Lalu ia pun tidur di sana dengan memeluk gumpalan yang sesaat tadi
sempat menggeliat di balik selimut.
Ya,
itu adalah Miko. Anak ke tiga dari 4 bersaudara. Dan, banyak yang menyebutnya
gila.
Miko keluar dari balik selimut, melepaskan pelukan
kakaknya. Bau alkohol menyeruak ke hidungnya, tapi itu hal biasa. Mereka memang
dekat. Roni sadar, dia hanya merasa harus menemani adiknya. Miko tak pernah
protes, seperti apapun dirinya.
“Kamu belum tidur?” tanya Roni dengan mata setengah
terpejam. Miko yang telah terduduk menatap kakaknya lalu menggeleng.
“Hamur juga?” tanya Roni. Miko mengangguk.
“Yaudah anak manis, sekarang udah waktunya bobo,” ucap
Roni sembari mencoba memeluk Miko dan menyuruhnya tidur. Yang terjadi malah lain.
Miko memegang dahi Roni, seolah menanyakan ‘apa kau baik-baik aja?’
Roni menurunkan tangan Miko dari dahinya. “Bilang pada
Hamur untuk berhenti mengasihaniku,” ucapnya.
Miko menatap sudut ruangan lalu menggeleng dan menunjuk
dirinya sendiri. Karena sesungguhnya, dirinyalah yang merasa khawatir.
Roni menghela nafas sebelum menjawab, “Aku baik saja,
Miko. Aku hanya pusing dan... lelah.” Ia tak lagi bicara. Ia sadar, tanpa
banyak bicara pun aroma yang dibawanyamungkin membuat Miko merasa tak nyaman.
Miko menatap kedua mata kakaknya lantas berbaring dengan
masih menatapnya. Lalu, Miko pun memeluk Roni, mencoba untuk tidur dan menemani
kakaknya yang kelelahan.
*****
Harapan Miko.
Miko menujukkan
tulisan itu pada Roni. Dan ketika Roni hendak membukanya, Miko pun melarangnya.
“Apa
boleh Mas buka?” tanya Roni. Miko menatap sekeliling, khawatir jika ada orang
lain yang akan melihatnya.
Roni
tersenyum, “Akan Mas rahasiakan,” ujarnya. Menuruti tuntutan adiknya agar tak
ada orang selain dirinya yang melihat isinya. Roni pun membuka lipatan itu
perlahan dan menatap isinya. Lalu mengacak rambut Miko sambil tersenyum iba.
Miko
menarik lengan baju Roni. Lalu takut-takut menunjukkan tulisan tangannya di
papan tulis kecil miliknya.
“Apa itu ‘gila’?” Roni terkejut, lalu
pura-pura berpikir.
“Mungkin
seperti mas,” jawabnya. Miko menggeleng.
“Mereka
menatapku ketika mengucapkannya,” ucap Miko. Roni tersenyum lalu berucap, “Ngga
ada yang salah dengan itu.”
“HamuR
bilang, dia tidak suka topik ini.” Tulisnya, lalu menatap sudut ruangan.
“Mungkin karena ia hanyalah bagian dari
dirimu,” Batinnya mengeluh. Namun mulutnya hanya tersenyum. Ia memang tidak
berniat melanjutkan pembicaraan. Ia biarkan Miko sibuk dengan dirinya sendiri.
Roni menatap sekeliling, betapa pilu hatinya
menatap kartu-kartu harapan Miko yang menggantung dari langit-langit kamarnya.
Itu adalah kebiasaan Miko. Kebiasaan yang ia dapat dari papanya, Tuan Besar.
Kebiasaan yang telah ia wariskan pada Miko.
Semoga Mas Roni
cepat sembuh.
Aga ngga nangis lagi.
Mbak Dian bisa bertemu HamuR.
Itulah beberapa
harapan yang Miko gantungkan. Harapan Miko selalu sesederhana itu. Roni sadar.
Kebiasaan ini salah. Harapan memang bukan untuk digantungkan.
“HamuR bilang dia mencintaimu,” ucap Miko tiba-tiba,
membuat Roni menoleh.
Roni lelah, hampir tak pernah rasanya ada hal baik yang
datang pada dirinya. Tak pernah rasanya ada hal baik yang datang dari dirinya. “Apa
dia akan membuatku bahagia?” tanya Roni. Miko pun menatap Roni dan mengangguk.
Roni tersenyum. Getir dan bersyukur. Mungkin saat ini, ia
telah sama gilanya dengan Miko. Dia menginginkan ketenangan.
*****
“Mik, kenapa kamu
menulisnya seperti itu?” tanya Roni. Menunjuk tulisan tangan Miko.
Miko tersenyum, seperti senang
mendapat pertanyaan ini dari kakaknya. Lalu ia pun menjawab, “Karena memang
begitulah namanya.” Miko menatap tulisannya “HamuR”
*****
Jiwa yang telah terbebani terlalu berat
dan terlalu lama akhirnya tumbang. Jalan kebahagiaan telah ia temukan:
Menyerah.
Tok...
tok...
Miko pun menyibak selimut di kakinya dan bangkit. Ia pun
membuka pintu. Setelah pintu dibuka tampaklah Dian.
“Mm... apa Mbak bangunin kamu?” tanya Dian. Miko
menggeleng, lalu membuka pintunya lebih lebar. Mempersilakan Dian masuk.
“Mbak hanya khawatir dengan kamu,” ucap Dian memulai
pembicaraan setelah duduk di ranjang Roni. Kamar ini masih sama seperti sebelum
ia ditinggalkan. Miko pun memiringkan kepalanya seolah bertanya ‘kenapa?’
“Makanmu jadi berkurang akhir-akhir ini,” ucap Dian. “ada
apa?” tanyanya.
Miko menjulurkan tangannya, dan diberikannya kepada Dian
lipatan kertas yang sejak tadi digenggamnya.
‘Roni merindukanmu.
Ia tak bisa sebahagia semestinya. HamuR.’
Dian menghela napas, “Kamu merindukan mas Roni?” tanya
Dian. Miko mengangguk. Matanya berkaca-kaca. “Aku juga merindukannya,” lanjut
Dian.
“Benarkah?” tanya Miko. Dian mengangguk. “sudah 10 hari
lebih Mik. Kenapa dia memilih untuk meninggalkan kita, dengan cara yang tak
semestinya?” Tanya Dian.
“Dia
tidak pergi.” Ucap Miko lalu menatap keluar jendela. “Dia hanya kelelahan.
Jadi, dia beristirahat dan tidur.” Mereka sadar mereka sama-sama lelah. Keduanya
lalu terdiam dalam fikiran yang sama bernama kehilangan.
*****
Roh-roh dari raga yang telah mati akan
terbakar. Kemudian terbang dan kembali tumbuh menjadi jiwa sebuah bintang.
Mereka
kembali bermain drama “Kamu yang Salah”. Kali ini temanya adalah Roni. Si
Sulung yang telah mati.
Dian
sungguh tidak mengerti. Terkadang ia tidak ingin menjadi dewasa jika melihat
papa-mamanya. Selama ini ia sudah berusaha menjadi anak yang baik dengan diam
saja. Namun, kesabarannya memang terbatas. Ia murka. Emosinya yang terkubur dan
menimbun pun buncah, hingga tumpah.
“Papa
dan Mama selalu bertengkar! Kenapa papa dan mama ngga bisa ngalah aja, sih! Mas
Roni sampai memilih menyerah. Apa itu ngga cukup untuk membuat kalian tidak
saling menyalahkan?! Ini salah kalian mas Roni pergi. Sadarlah dan jadilah
dewasa!”
Dian
berteriak dalam tangis, lalu berlari menuju kamarnya, menguncinya dan berteriak
sangat keras. Cukup satu kali. Lalu yang ia lakukan adalah menyalakan musik dengan
volume yang sangat keras, hingga ia pun jatuh tertidur.
*****
Tok...
tok...
Dian
terbangun dari tidurnya. Ia tak tahu sejak kapan pemutar musik yang ia mainkan
kehabisakan lagu untuk diputar. Intinya adalah, ia tidak tahu sudah berapa lama
ia tidur.
Ia pun
duduk dan menatap jendela. “Sudah malam rupanya,” gumamnya, lalu bangkit untuk
membuka pintu. Miko berdiri di sana, dengan mata mengantuknya.
“Tadi
HamuR bangunin aku,” ucapnya.
“Tapi
kamu yang bangunin Mbak,” sahut Dian.
“...”
Miko tertunduk. “maaf,” lirihnya.
Dian
tersenyum, “Ngga apa kok. Ada apa? Ayo masuk.” Ajak Dian. “Kok belum tidur?”
tanya Dian begitu Miko telah masuk.
“HamuR yang bangunin aku.” Miko cemberut.
Dian
menghela nafas, “Lalu ada apa?” tanyanya.
“Dia
bilang dia mencintaiku dan Mbak,” ucap Miko sambil menatap Dian.
Lagi.
Dian menghela nafas, “Apa dia mengatakan kalau dia juga mencintai mas Roni?”
tanya Dian. Miko pun mengangguk. “Lalu bagaimana dengan Aga?” Dian mulai tidak
sabar.
Miko
diam. lalu menatap sudut ruangan. Lalu mengangguk pasti.
“Lalu
bagaimana dengan Papa dan Mama?” Tanya Dian lagi.
“Mereka
begitu mesra ketika mereka datang,” ucap Miko. Dian diam. tidak yakin dengan
apa yang didengarnya dari mulut Miko. “Apa artinya?” tanya Dian.
Miko
kembali diam dan menatap sudut ruangan. Kali ini cukup lama. Kemudian, ia
menelungkupkan wajahnya di atas bantal.
“Ada
apa?” Dian menyentuh bahu Miko khawatir.
Miko
mengangkat wajahnya. Kembali cemberut. “Aku tidak mengerti artinya,” balasnya.
Dian
tersenyum. Miko biasanya lebih banyak diam atau berbicara dengan HamuR. Tidak
biasanya adiknya banyak bicara pada dirinya. Ya, mereka memang tidak terlalu
dekat. Dian lebih dekat dengan Aga, sedangkan Miko lebih dekat dengan Roni.
Mendiang
kakaknya pasti senang dengan kemajuan ini. “Kamu ngga harus mengerti sekarang.”
Hibur Dian.
Dian
senang, sungguh. Setidaknya ada kedamaian ketika ia bersama adik-adiknya.
Miko
rebah. Ia masih mengantuk.
“Kamu
tidurlah, Mbak akan ke kamar Aga sebentar.” Dian menarik selimut ke tubuh Miko.
“Dia
sudah tidur. Aku yang menemaninya tadi.” Cegah Miko.
Dian
berhenti, lalu tersenyum. “Terima kasih,” ucapnya. Miko mengangguk.
Sesaat
itu, senyum miris membayang di wajahnya. Miko adik yang baik, anak itu manis.
Sayang, adiknya tak pernah bisa terlalu berekspresi.
“Apa Mbak masih sedih?” tanya Miko.
Dian
mengelus kepala Miko, “Tidak terlalu,” jawabnya ragu.
“Mbak
tidak mengantuk?” tanya Miko.
“Mbak
baru saja bangun, Mik,” jawab Dian.
“Tidurlah,
Mbak. HamuR ingin kita segera menemuinya,” ucap Miko.
Sebelah
alis Dian terangkat, “Bukankah dia selalu bersamamu?” tanyanya.
“Ya.
Tapi ia ingin Mbak menemuinya juga,” jawab Miko.
“Mik,
bisakah kita berhenti membicarakan Hamur? Mbak tidak pernah memercayainya,”
ucap Dian. Miko memiringkan kepalanya seolah bertanya, “kenapa?”
Dian
berusaha keras menahan emosinya. Ia genggam selimut di sana erat-erat, “Selalu
hanya kamu yang bisa melihat dan bicara dengannya. Bukan Mbak, Aga, bahkan Mas
Roni.” Dian hampir menangis. Bertanya, apakah ada satu hal saja yang normal
dari adiknya?
Beberapa
saat, hening berbicara, “Tidurlah Mbak,” ucap Miko tenang sambil menatap Dian, “Nanti
Mbak akan percaya. Ia akan mengajak kita ketempat yang indah dan tenang,” ucap
Miko tanpa ekspresi berarti. Kadang, - entah bagaimana - Miko berhasil
membuatnya takut.
“Dia
yang menjanjikan itu?” tanya Dian. Miko mengangguk.
“Aku
yang akan membuat Mbak percaya,”
Dian
ragu. Namun memilih mengalah pada keinginan adiknya. Maka, ia pun rebah di sisi Miko.
Mereka
pun tidur. Semakin dalam dan gelap. Dalam kelelapan, mereka menyadari
kehangatan yang mendekat. Menghadirkan ketenangan dan kedamaian. Lalu sebentuk
cahaya mendekat. Sebentuk tubuh dari nyala api. Menyambut mereka dengan
senyuman hangat.
Kini
Dian merasa telah sama gilanya dengan Miko. Tapi ia merasa mengenalnya, HamuR.
Lalu
rasa mereka lepas. Mereka terbang dan melayang. Mereka bebas. Lalu muncul
cahaya lain. Mereka melihat Roni. Kerinduan mereka terobati. Dan mereka pun
menari.
*****
Rumah itu hampir tak pernah sepi. Kali ini lebih ramai
dari biasanya. Karena sungguh, bisik dari lidah jauh lebih tajam. Ia dapat
membuat luka semakin dalam. Bahkan memaksa kita menangisi kenyataan.
Api
sudah dipadamkan. Semua miliknya pergi tanpa salam. Hanya abu sisa semalam. Para
petugas mengatakan bahwa lilin yang menyambar hordenglah penyebabnya. Rumah itu
terbakar. Atau, bisa kukatakan bahwa rumah itu bunuh diri. Bukankah kalian
mengenalnya?
Raungan
dari Nyonya Besar dan isak tertahan dari Tuan Besar tidak akan mampu merubah
kenyataan. Entah mereka harus bagaimana.
Dalam
tangisnya, Nyonya besar mendekap Aga – yang sedang tak sadarkan diri - erat-erat.
Sementara tangannya menggenggam kertas yang ia dapatkan dari Aga. Setengah
hangus, kertas itu masih menampakkan pesannya, tulisan tangan Miko,
“Kesempatan terakhir. HamuR”
nb: cerpen ini pernah nekat aku lombakan, dan kalah :)