Ah, kenapa pagi datang cepat
sekali? Apakah benar-benar tidak ada yang bisa mengerti? Aku masih ingin tidur,
dan lagi kepalaku masih terasa sakit karena acara semalam. Last Friday Night.
Tapi
akhirnya kuputuskan juga untuk bangun dan mencuci mukaku. Aku tidak tahan
karena sinar matahari langsung mengarah ke tempat tidurku. Sudah pukul tujuh
kurang lima belas menit, dan aku malas berada di rumah. Jadi, kuputuskan saja untuk
pergi kesekolah. Kedengarannya sinting memang.
Tapi biarlah! Aku lebih suka jika nanti Mang Ujo memarahiku karena
datang dengan sangat terlambat ke sekolah, daripada aku harus berada di dalam
neraka yang terpaksa kupanggil rumah.
Sekarang
aku sudah selesai mandi dan berpakaian. Aku telah siap degan baju putih abu-abu
siap untuk berangkat ke sekolah dan jam d kamarku sudah menunjukkan pukul 07.15
am. Aku akan terlambat sekitar 30 menit ketika aku sampai nanti. Tapi, siapa
yang peduli? Seperti saat ini saja, tidak ada yang pernah peduli terhadapku.
*****
Hah,
tanpa terasa hari sudah semakin malam. Kubuka lagi satu botol minuman yang
dapat menenangkanku-walau hanya sesaat-ini. Entah mengapa orang-orang yang
katanya sudah dewasa itu malah berperilaku seperti anak kesil yang
memperebutkan permen? Saling berteriak! Bahkan mereka bertindak seperti orang
yang sama sekali tak berpendidikan dengan mengeluarkan kata-kata yang kasar.
Yang bahkan bisa melukai orang lain tanpa harus menunjuk orang tersebut.
Kubesarkan
volume stereo di kamarku. Mencoba untuk menutup telinga atas hal-hal yang tidak
ingin kudengar. Alunan music-musik dari Laruku seolah mengiriku menuju
ketidaksadaran karena minuman itu. Dan aku mendengar bunyi jam yang menandakan
telah tepat tengah malam sesaat sebelum aku benar-benar hilang kesadaran.
*****
Hah!
Apakah sekarang sudah pagi? Mataku masih sangat berat untuk dibuka. Dan, kenapa
aku seperti mendengar suara gitar yang sangat sumbang? Apa ini masih di dalam
mimpi? Aku renggangkan sedikit tuduhku, dan sedetik kemudian aku merasakan
sesuatu bergerak di tempat tidurku, menuju teat ke sampingku. Kubuka sedikit
mataku dengan susah payah untuk melihat sesuatu yang bergerak tadi.
“hai.”
Sapa sesuatu tadi sambil tersenyum. Seorang gadis tepatnya. Kukerjapkan mataku
beberapa kali untuk memastikan penglihatanku tidak salah. Untuk apa gadis itu
disini. Dan mengapa ia harus memperlihatkan senyuman bodohnya?
“bangun
dong.” Ucapnya kemudian, ambil mengacung-acungkan sebuah bungkusan plastic yang
di genggamnya tepat di atas wajahku. Seharusnya aku sudah bisa menebak tentang
satu-satunya orang yang berani mengganggu hari mingguku. Siapa lagi kalau bukan
satu-satunya saudara perempuan yang kumiliki. Dan sekarang aku tahu, aku tidak
sedang bemimpi.
“ahh,
ntar ah! Ganggu tidur orang aja tau
nggak sih lu?!” ucapku malas, sambil mengubah posisi tidurku dan
membelakanginya.
“lo
yakin?” tanyanya. “mmm,” igauku.
“trus
ini white chocolate, Cadbury, sama silverqueen almondnya buat siapa? Gue ngga
doyan tau.” Celotehnya sambil mengguncang-guncangkan tubuhku.
“yaudah
sini!” kataku, sambil membalikkan badan untuk menggapai plasti itu, tapi kalah
cepat dengan gerakan orang yang sedang tidak mengantuk sepertinya.
“enak aja! Mandi dulu sono.”
Aku yang malaspun lebih memilih
untuk berusaha tidur kembali. Namun, sesaat kemudian aku merasakan Widya-gadis
itu- menarik tanganku sambil berteriak.
“Ayo banguuuunnn!! Udah siang
tau.”
“arghh….” Erangku. Tapi arwah di
dalam tubuhku belum terkumpul sepenuhnya membuatku merasa sangat lemas. Sehingga
akhirnya ia berhasil membuatku berdiri.
“emang ngga sadar apa, alkoholnya
tuh bau banget! >,<” lanjutnya. Kali ini sambil mencoba mendorongku masuk
ke kamar mandi.
“nanti gue tambahin pizza, deh!”
katanya terus membujukku.
“iya..iya..!”kataku akhirnya. Lumayan
juga coklat dan pizza itu. :P
*****
Aku coba untuk tak memperdulikan
ocehannya. Aku ingin dia tahu bagaimana rasanya diacuhkan. Pantas saja ia
meberiku coklat dan menjanjikan pizza. Ia pergi dari rumahnya, dan mematikan
handphone-nya. Dan itu membuatku repot karena ketika ibunya yang terlampau sayang
pada anak satu-satunya ini, menelpon. Sedangkan Widya malah menyuruhku tutup
mulut. Dan sialnya, ia memberitahu tentang hal ini baru beberapa menit yang
lalu, tepatnya setelah aku selesai mandi dan berganti baju.
“iihh! Lu dengerin gue ngga sih?”
ujarnya dengan kesal. “kenapa sih lu susah banget buat dengerin gue doing?!”
lanjutnya.
“yaudahlah, gue dengerin lu kok.”
Jawabku malas, sambil memetik gitarku pelan.
“kenapa sih, ngga ada yang
ngertiin gue?!” ucapnya. Gotcha,
biasanya aku yang mengucakan kalimat itu. Bukan padanya, tapi pada orang-orang
itu.
“nggak mama, ayah! Kenapa sih
semua orang egois? Ngga bisa ngerti apa yang bener-bener gue mau!”.”lo juga! Mau
sampe kapan lu cuekin gue? Seenggaknya sebelum gue mati, lu harus denger dan
tahu satu hal aja tentang gue!”
“mati?” ulangku, antara kaget dan
tidak mengerti.
“yaiyalah! Masa iya gue disuruh
hidup selamanya?! Cepat atau lambat, gue juga akan mati! Lo mau sampe gue mati,
kita masih cuek-cuekan gini?!”
“iya kalo lu duluan yang mati. Kalo
gue duluan?”
“sama aja bodoh! Intinya kalau
kita udah mati dan masih cuek-cuekan, kita akan mati tanpa tahu apa-apa tentang
satu sama lain!” Kali ini ia sedikit berteriak, membuatku diam, berusaha untuk
mencerna kata-katanya barusan.
“kok bengong, sih?!” tegurnya
jengkel. Dan aku pun mendelik kearahnya kesal.
“lo yang kebanyakan ngomong tau!”
tukasku.
“ihh, rese lo!” kali ini aku tahu
ia benar-benar jengkel. Terlihat dari bibirnya yang ia majukan sedikit. Tapi kemudian….
Teot…toeot…
Aku kenal suara ini. Dan aku juga
tahu ia sangat hapal pada suara yang berasal dari tukang cilok yang menjadi
favoritnya. Ia menengok kearah luar. Sepertinya ia lupa bahwa ia sedang marah.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk
tidak tertawa melihat tingkahnya ini. Kukeluarkan uang 5 ribuan dari saku
celanaku, mencoba merayunya agar tak lagi marah padaku.
“beli ah,” ucapku seraya
meletakkan gitar dipangkuanku. Berlagak akan bangkit dan pergi.
“pergi aja sono!” tukasnya.
“bener nih? Padahal niatnya gue
pengen beliin lo sekalian.” Kataku. Ia tampak menimbang-nimbang. Antara marah,
gengsi, dan cilok favoritnya.
“bukannya minta maaf, malah main
pergi-pergi aja.” Ucapnya seperti gumaman.
“nih,” kataku, sambil menjulurkan
uang lima ribuan tadi kearahnya. Ia menoleh kearahku, dan sedetik kemudian ia
uang itu telah berpindah tangan dan ia berlari keluar. Sepertinya ia mengerti
bagaimana caraku meminta maaf.
“makasih Raka!” teriaknya dari
luar.
“beliin gue sekalian!” teriakku.
“okeh!” katanya sambil
menunjukkan senyumannya, sambil berteriak juga tentunya.
Aku kembali duduk dan
menyandarkan tubuhku pada kursi dan memetik gitarku satu-satu. Benar juga apa
katanya. Stiap orang pasti akan mati.dan tidak ada yang tau pasti kapan ia akan
mengalaminya. Aku dan dia hidup di lingkungan yang tak jauh berbeda. Lingkungan
yang sama-sama menuntut kami untuk selalu menjadi lebih baik lagi.
Walaupun ia terlihat ceria, memiliki
banyak orang yang-sepertinya-menyayanginya dan juga teman yang banyak, siapa yang
bisa menjamin kalu ia tidak kesepian?
Dan betapa bodohnya aku. Selalu melihat
bahwa masalah hanya datang padaku. Selalu merasa bahwa orang lain pantas
mendapatkan dan merasakan apa yang aku rasakan. Tapi sekarang aku sadar, itu
semua hanya akan menjadi adil untukku, tapi sama sekali tidak akan membuatku
puas.
Aku juga baru menyadari, elama
ini aku terlalu buta untuk melihat bahwa ia ada untukku. Dan benar juga, bukankah
lebih baik menyayangi pa yang kita miliki, jika kita tidak bisa memiliki apa
yang kita sayangi?
“nih.” Katanya, sambil
menyerahkan sebungkus cilok padaku.
“anggep aja ini ganti rugi
buatcoklat tadi. Tapi, lo masih punya utang pizza ke gue.” Kataku, menerima
bungkusan itu.
“okay my lord, your command is my
wish.” Ucapnya sambil membungkukkan badan, berlagak seperti aku adalah rajanya. Dan sedetik kemudian, setelah sekian lama kami tertawa bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar